Masyarakat di luar Kota Malang, banyak mengidentifikasi nama tersebut bukan berasal dari kata malang yang memiliki makna menghalangi, namun lebih memahami kata tersebut, pada malang yang menunjuk pada nasib yang kurang baik. Istilah dengan pemahaman makna yang kedua ini, bisa kita lihat dari pemakaian semboyan Kota Malang yang dipakai oleh pemerintah kolonial yaitu Malang Nominor Sursum Moveor yang memiliki arti Malang Namaku, Maju Tujuanku. Semboyan ini mengisyaratkan mengacu pada makna kata malang sebagai nasib yang kurang baik, hal ini bisa dilihat dari kata setelah Malang Namaku yaitu kalimat Maju Tujuanku. Kalimat kedua ini merupakan kalimat yang menegasi kalimat yang pertama.
Kata malang dapat diartikan dalam bermacam-macam arti kata, mulai dari :
* malang = nasib yang kurang beruntung
* malang = menghalangi /membentang (basa jawa)
* malang = nama yang diberikan oleh pasukan Sultan Demak ketika mencoba menyerang untuk memperluaskan daerah kekuasaan. Kata ini berasal dari istilah malang-melintang.
* malang = Tuhan menghancurkan yang bathil dan menegakkan yang baik. Kata ini berasal dari istilah Malang Kucecwara. (Sesanti itu disyahkan menjadi semboyan Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Malang pada tanggal 1 April 1914.)
Tapi jangan salah,Nama Malang ternyata memiliki nilai historis yang cukup tinggi.
Dibawah ini merupakan sejarah kota kita tercinta ini dinamakan Malang.
Nama Batara Malangkucecwara disebutkan dalam Piagam Kedu (tahun 907) dan Piagam Singhasari (tahun 908). Diceritakan bahwa para pemegang piagam adalah pemuja Batara (Dewa) Malangkucecwara, Puteswara (Putikecwara menurut Piagam Dinoyo), Kutusan, Cilahedecwara dan Tulecwara. Menurut para ahli diantaranya Bosch, Krom dan Stein Calleneis, nama Batara tersebut sesungguhnya adalah nama Raja setempat yang telah wafat, dimakamkan dalam Candi Malangkucecwara yang kemudian dipuja oleh pengikutnya, hal ini sesuai dengan kultus Dewa - Raja dalam agama Ciwa.
Nama para Batara tersebut sangat dekat dengan nama Kota Malang saat ini, mengingat nama daerah lain juga berkaitan dengan peninggalan di daerah tersebut misalnya Desa Badut (Candi Badut), Singosari (Candi Singosari). Dalam Kitab Pararaton juga diceritakan keeratan hubungan antara nama tempat saat ini dengan nama tempat di masa lalu misalnya Palandit (kini Wendit) yang merupakan pusat mandala atau perguruan agama. Kegiatan agama di Wendit adalah salah satu dari segitiga pusat kegiatan Kutaraja pada masa Ken Arok (Singosari - Kegenengan - Kidal - Jago : semuanya berupa candi).
Piagam tahun 907 itu menerangkan bahwa orang-orang yang mendapat piagam itu adalah pemuja-pemuja batara dari Malangkucecwara, Putecwara Kutusan, Cilebhedecwara dan Tulecwara. Penyebutan nama-nama seperti Batara dari Malangkucecwara, putecwara dansebagainya membuktikan bahwa nama-nama itu adalah nama raja-raja yang pernah memerintah dan pada saat di makamkan di dalam candi lalu disebut Batara. Dengan disebutkannya piagamDinoyo, sekarang adalah Kelurahan Dinoyo, maka masuk akal jika candi malangkucecwara itu ada dekat Kota Malang sekarang.
Pusat mandala disebut sebagai panepen (tempat menyepi) salah satunya disebut Kabalon (Kebalen di masa kini). Letak Kebalen kini yang berada di tepi sungai Brantas sesuai dengan kisah dalam Pararaton yang menyebut mandala Kabalon dekat dengan sungai. Disekitar daerah Kebalen - Kuto Bedah - DAS Brantas banyak dijumpai gua buatan manusia yang hingga kini masih dipakai sebagai tempat menyepi oleh pengikut mistik dan kepercayaan. Bukti lain kedekatan nama tempat ini adalah nama daerah Turyanpada kini Turen, Lulumbang kini Lumbangsari, Warigadya kini Wagir, Karuman kini Kauman.
Pararaton ditulis pada tahun 1481 atau 250 tahun sesudah masa Kerajaan Singosari menggunakan bahasa Jawa Pertengahan dan bukan lagi bahasa Jawa Kuno sehingga diragukan sebagai sumber sejarah yang menyangkut pemerintahan dan politik. Penulisan Pararaton sudah . Namun pendekatan yang dipakai para ahli dalam menyelidiki asal usul nama Kota Malang didasarkan pada asumsi bahwa nama tempat tidak akan jauh berubah dalam kurun waktu tersebut. Hal ini bisa dibuktikan antara lain dari nama Kabalon (tempat menyepi) ternyata juga disebutkan dalam Negara Kertagama. Dalam kitab tersebut dikisahkan bahwa puteri mahkota Hayam Wuruk yaitu Kusumawardhani (Bhre Lasem) sebelum menggantikan ayahnya terlebih dahulu menyepi di di Kabalon dekat makam leluhurnya yaitu Ken Arok atau Rangga Rajasa alias Cri Amurwabumi. Makam Ken Arok tersebut adalah Candi Kegenengan.
Namun istilah Kabalon hanya dikenal dikalangan bangsawan, hal inilah yang menyebabkan istilah Kabalon tidak berkembang. Rakyat pada masa itu tetap menyebut dan mengenal daerah petilasan Malangkucecwara dengan nama Malang hingga diwariskan pada masa sekarang.
1 Komentar Masuk:
oohh itu sejaahnya,, baru tau saya
tq ya atas infonya..
Posting Komentar
Jangan Hanya membaca dan melihat saja yah Sobat inumarulez, tapi juga tinggalkan komentar... Okeee...??